Sekarang kita masuk pada bagian isi dari Syarhus Sunnah karya Imam Al-Muzani. Kali ini akan dijelaskan makna Ash-Shamad dan kaidah dalam nama dan sifat Allah.
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,
الوَاحِدُ الصَّمَدُلَيْسَ لَهُ صَاحِبَةٌ وَلاَ وَلَدٌ جَلَّ عَنِ المَثِيْلِ فَلاَ شَبِيْهَ لَهُ وَلاَ عَدِيْلَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ العَلِيْمُ الخَبِيْرُ المَنِيْعُ الرَّفِيْعُ
1- Allah itu Maha Esa, Allah itu Ash-Shamad (yang bergantung setiap makhluk kepada-Nya), yang tidak memiliki pasangan, yang tidak memiliki keturunan, yang Mahamulia dan tidak semisal dengan makhluk-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan Allah. Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat. Allah itu Maha Mengilmui dan Mengetahui. Allah itu yang mencegah dan Mahatinggi.
Allah itu Ash-Shamad
Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim disebutkan beberapa perkataan ahli tafsir yakni sebagai berikut.
Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud Ash-Shamad adalah :
الَّذِي يَصْمُدُ الخَلَائِقُ إِلَيْهِ فِي حَوَائِجِهِمْ وَمَسَائِلِهِمْ
Seluruh makhluk bersandar/bergantung kepada-Nya dalam segala kebutuhan maupun permasalahan.
Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas mengatakan mengenai, “Allah itu Ash-Shamad. Dia-lah As-Sayyid (Pemimpin) yang kekuasaan-Nya sempurna. Dia-lah Asy-Syarif (Maha Mulia) yang kemuliaan-Nya sempurna. Dia-lah Al-‘Azhim (Maha Agung) yang keagungan-Nya sempurna. Dia-lah Al-Halim (Maha Pemurah) yang kemurahan-Nya itu sempurna. Dia-lah Al-‘Alim (Maha Mengetahui) yang ilmu-Nya itu sempurna. Dia-lah Al-Hakim (Maha Bijaksana) yang sempurna dalam hikmah (atau hukum-Nya). Allah-lah–Yang Maha Suci–yang Maha Sempurna dalam segala kemuliaan dan kekuasaan. Sifat-Nya ini tidak pantas kecuali bagi-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak ada yang semisal dengan-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.
Al-A’masy mengatakan dari Syaqiq dari Abi Wa’il bahwa Ash-Shamad bermakna:
الصَّمَدُ السَّيِّدُ الذِي قَدِ انْتَهَى سُؤُدُهُ
”Pemimpin yang paling tinggi kekuasaan-Nya”. Begitu juga diriwayatkan dari ’Ashim dari Abi Wa’il dari Ibnu Mas’ud semacam itu.
Malik mengatakan dari Zaid bin Aslam, “Ash-Shamad adalah As-Sayyid (Pemimpin).”
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa Ash-Shamad adalah (الباقي بعد خلقه) Yang Maha Kekal setelah makhluk-Nya (binasa).
Al-Hasan juga mengatakan bahwa Ash-Shamad adalah
الحَيُّ القَيُّوْمُ الذِي لاَ زَوَالَ لَهُ
Yang Maha Hidup dan Qoyyum (mengurusi dirinya dan makhlukNya) dan tidak mungkin binasa.
’Ikrimah mengatakan bahwa Ash-Shamad adalah yang tidak mengeluarkan sesuatu pun dari-Nya (semisal anak) dan tidak makan.
Ar-Robi’ bin Anas mengatakan bahwa Ash-Shamad adalah (الذي لم يلد ولم يولد) yaitu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Beliau menafsirkan ayat ini dengan ayat sesudahnya dan ini tafsiran yang sangat bagus.
Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin Al Musayyib, Mujahid, Abdullah bin Buraidah, ’Ikrimah, Sa’id bin Jubair, ’Atho’ bin Abi Robbah, ’Athiyyah Al ’Awfiy, Adh Dhohak dan As Sudi mengatakan bahwa Ash-Shamad adalah (لا جوف له) yaitu tidak memiliki rongga (perut).
Al-Hafizh Abul Qasim Ath-Thabrani dalam kitab Sunnahnya–setelah menyebut berbagai pendapat di atas tentang tafsir Ash-Shamad–berkata, ”Semua makna ini adalah shohih (benar). Sifat tersebut merupakan sifat Rabb kita ’Azza wa Jalla. Dia-lah tempat bersandar dan bergantung dalam segala kebutuhan. Dia-lah yang paling tinggi kekuasaan-Nya. Dia-lah Ash-Shamad tidak ada yang berasal dari-Nya. Allah tidak butuh makan dan minum. Dia tetap kekal setelah para makhluk-Nya binasa. Baihaqi juga menjelaskan yang demikian.” (Diringkas dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir rahimahullah)
Kaidah Nama dan Sifat Allah
Pertama: Nama Allah itu tauqifiyah (mesti dengan dalil)
Nama Allah itu tauqifiyah, mesti dengan dalil, akal tidak punya ruang di dalamnya. Oleh karena itu pembicaraan nama dan sifat Allah hanya terbatas pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, jangan ditambah, jangan dikurangi.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌۚإِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Dalam ayat lain disebutkan pula,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)
Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al-fawaahisy (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan sifat Allah, perbuatan-Nya, agama, dan syari’at-Nya.” (I’lam Al-Muwaqi’in, 1:38)
Kedua: Rukun iman dengan nama Allah yang husna
- Beriman pada nama Allah.
- Beriman pada makna dari nama Allah.
- Beriman dengan atsar (dalil) yang membicarakan nama Allah.
Misalnya, kita beriman pada nama Allah Ar-Rahim, maka kita beriman pula pada maknanya, yaitu Allah memiliki rahmat yang luas pada segala sesuatu, juga dalil-dalil yang membicarakan tentang Rahim kita imani.
Ketiga: Bentuk penyimpangan dalam nama dan sifat Allah
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَاۖوَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِۚسَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180)
Beberapa bentuk penyimpangan dalam nama dan sifat Allah:
-
Menamakan berhala dengan nama-nama Allah.
Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat,
أَفَرَأَيْتُمْ اللَّاتَ وَالْعُزَّى.وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَ
“Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, Dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (QS. An-Najm:19-20). Laata itu adalah batu besar yang disembah, berada di daerah Tha’if. Penyebutan lain dengan Laatta yang dimaksud adalah kubur laki-laki shalih yang disembah selain Allah. ‘Uzza adalah pohon yang berada antara Mekkah dan Tha’if yang memiliki juru kunci yang disembah dan diagung-agungkan. Sedangkan Manat adalah batu besar yang diukir yang berada di antara Mekkah dan Madinah. Manaat ini juga disembah dan jadi milik penduduk Khuza’ah, Aus dan Khozroj.
-
Menyebut Allah dengan panggilan “Bapak” seperti kelakuan orang Nashrani.
-
Menyifatkan Allah dengan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan.
Hal ini seperti kelakuan orang Yahudi yang disebut dalam ayat,
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌۚغُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُواۘبَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (QS. Al-Ma’idah: 64)
-
Menolak nama dan sifat Allah.
Seperti yang dilakukan oleh kaum Jahmiyyah yang menyatakan nama Allah itu lafazh saja yang tidak mengandung makna dan sifat.
-
Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan sebagaimana Allah dan Rasul-Nya tetapkan tanpa menolak dan menyamakannya dengan makhluk.
Insya Allah masih berlanjut dengan pembahasan kaidah nama dan sifat Allah. Moga bermanfaat.
Referensi:
- I’lam Al-Muwaqi’in. Ibnul Qayyim. Darul Jail Beirut
- Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhaui Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan ke-12, Tahun 1431 H. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani.
- Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
Diselesaikan di Jogja, Selasa sore, 2 Dzulhijjah 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com